Laporan Praktikum Pelet Kayu Akasia Daun Lebar

Laporan Praktikum Pelet Kayu Akasia Daun Lebar

Postingan ini diperbarui 30 November 2021

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk dan ekonomi suatu daerah mengakibatkan kebutuhan energi dari tahun ke tahun semakin meningkat. Peningkatan penggunaan energi dari bahan baku yang berasal dari fosil dapat menyebabkan tingginya emisi gas rumah kaca. Menurut Yilmaz dan Selim (2013) produksi karbon dioksida (CO2) di dunia saat ini telah meningkat dari 4 juta ton/tahun menjadi 28 juta/tahun, sehingga perlu penyediaan sumber energi pengganti yang ramah lingkungan dengan jumlah yang melimpah dengan harga terjangkau. Salah satunya yaitu biomassa yang merupakan bahan bakar yang bersifat ramah lingkungan yang dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar fosil dan mengurangi terjadinya pemanasan global, serta memiliki biaya produksi yang rendah (Qian et al, 2011).

Bahan baku biomassa ini dapat diperoleh melalui tanaman atau limbah pertanian, limbah kayu, limbah hewan, limbah industri serta limbah pemukiman, dan energinya dihasilkan dari senyawa karbon yang berasal dari proses fotosintesis secara panas maupun kimia (Sofia et al., 2018). Biomassa ini mempunyai kelebihan dalam penggunaannya yaitu sebagai sumber energi yang dapat mengurangi karbon dioksida di atmosfer karena gas hasil pembakaran lebih sedikit, sehingga dapat diserap kembali oleh tumbuhan (bersifat karbon netral). Dan juga biomassa ini mempunyai kelemahan yaitu nilai kalor yang dihasilkan berkategori rendah dan kadar air yang cukup tinggi. Dalam produk biomassa ini dapat berupa pelet kayudan pelet kayu.

Jenis biomassa yang dapat digunakan dalam pembuatan pelet kayu adalah limbah kayu akasia daun lebar. Dari beberapa penelitian menyatakan bahwa kayu akasia kurang cocok dimanfaatkan sebagai pelet kayu dengan nilai kalor yang tinggi karena berat jenisnya tergolong rendah. Akan tetapi, pelet kayu akasia daun lebar ini cocok digunakan pada pemanfatannya di rumah tangga. Hal ini disebabkan akan kebutuhan rumah tangga berdarsarkan nilai kalor yang tergolong rendah. Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan praktikum ini dalam mengklasifikasikan kualitas pelet kayu tersebut.


1.2 Tujuan Praktikum

Tujuan laporan praktikum pelet kayu akasia daun lebar adalah:

  1. Untuk mengetahui cara pembuatan pelet kayu Akasia daun lebar (Acacia magium).
  2. Untuk mengetahui klasifikasi kualitas pelet kayu Akasia daun lebar (Acacia magium).

Baca juga: Bahan Perekat Pelet Kayu


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Kayu Akasia Daun Lebar

Pohon aksia daun lebar pada umumnya besar dan bisa mencapai ketinggian 30 m, dengan batang bebas cabang lurus yang bisa dicapai lebih dari setengah total tinggi pohon. Pohon akasia mencapai diameter setinggi dada lebih dari 60 cm, akan tetapi dihutan alam, pernah dijumpai pohon dengan diameter hingga 90 cm (Marsoem, 2014)

Klasifikasi pohon akasia daun lebar menurut Marsoem (2014) adalah:

Kingdom= Plantea
Devisio= Spermatophyta
Subdevisio= Angiospermae
Kelas= Dikotil
Ordo= Rosales
Famili= Fabaceae
Genus= Acacia
Spesies= Acacia mangium


Akasia daun lebar tidak memerlukan persayaratan tumbuh yang tinggi. Jenis ini dapat tumbuh pada tanah miskin hara, padang alang-alang, bekas tebangan, tanah-tanah tererosi, tanah berbatu dan juga pada tanah aluvial. Jenis tumbuhan ini tumbuh baik pada tanh laterit, yaitu tanah dengan kandungan oksida besi dan alumunium yang tinggi. Meskipun demikian, jenis ini tidak toleran terhadap naungan dan lingkungan salin (asin). Dibawah naungan, tumbuhan ini akan tumbuh kerdil dan kurus. Akasia daun lebar membutuhkan curah hujan antara 1500-4000 mm per tahun. Tapi jenis ini juga ditemukan pada daerah yang mempunyai kondisi iklim kering dan curah hujan rata-rata 1500-2300 mm per tahun (Marsoem, 2014).


2.2 Bahan Perekat

Penambahan perekat dalam pembuatan pelet kayudimaksudkan agar partikel arang saling berikatan dan tidak mudah hancur. Ditinjau dari jenis perekat yang digunakan, pelet dapat dibagi menjadi (Utami, 2017):

  1. Pelet yang sedikit atau tidak mengeluarkan asap pada saat pembakaran. Jenis perekat ini tergolong kedalam perekat yang mengandung zat pati.
  2. Pelet yang banyak mengeluarkan asap pada saat pembakaran. Jenis perekat ini tahan terhadap kelembapan tetapi selama pembakaran menghasilkan asap.


Perekat dari zat pati, dekstrin, dan tepung jagung cenderung sedikit atau tidak berasap. Sedangkan perekat dari bahan ter, pith, dan molase cenderung lebih banyak menghasilkan asap (Harloyo & Roliadi, 1978).

Perekat pati dalam bentuk cair mampu menghasilkan pelet kayu bernilai rendah dalam hal kerapatan, keteguhan tekan, kadar abu, dan kadar zat mudah menguap. Akan tetapi hal tersebut dapat  tinggi apabila menggunakan perekat molase (tetes tebu) yang mampu menghasilkan pelet yang sangat kuat dan baik mutu pembakarannya, akan tetapi berasap (Sudrajat, 1983).

Perekat kanji yang berasal dari tepung tapioka ditambah dengan air. Perekat umum digunakan sebagai bahan perekat pada pelet kayu, karena banyak terdapat di pasaran dan harganya relatif murah. Pada pertimbangan lain bahwa perekat kanji dalam penggunaannya menimbulkan asap yang lebih sedikit dibandingkan bahan lain. Akan tetapi perekat ini mempunyai kelemahan yaitu sifatnya tidak tahan terhadap kelembapan. Hal ini disebabkan tapioka mempunyai sifat dapat menyerap air dari udara. Kadar perekat dalam pelet tidak boleh terlalu tinggi karena dapat mengakibatkan penurunan mutu pelet kayuyang sering menimbulkan banyak asap. Kadar perekat yang digunakan umumnya tidak lebih dari 5% (Utami, 2017).


2.3 Pelet Kayu

Pelet kayu adalah jenis bahan bakar padat berbasis limbah biomassa yang memiliki ukuran lebih kecil dari briket (Windarwari, 2011). Bahan tambahan perekat tapioka dan sagu merupakan bahan yang sering digunakan dalam pembuatan pelet kayu karena mudah didapat, harganya relatif  murah dan dapat menghasilkan kekuatan rekat kering yang tinggi serta tidak membahayakan dalam penggunaanya. Penggunaan perekat tidak melebihi 5% karena semakin besar penambahan perekat, maka akan mengakibatkan bertambahnya kadar air pada pelet kayu. Hal ini akan mengurangi nilai pembakaran pelet kayu.

Windarwari (2011) mengungkapkan bahwa proses pemampatan biomassa pelet dilakukan untuk:

  1. Meningkatkan kerapatan energi bahan.
  2. Meningkatkan kapasitas panas (kemampuan untuk menghasilkan panas dalam jangka waktu yang lebih lama dan mencapai suhu yang lebih tinggi).
  3. Mengurangi jumlah abu pada bahan bakar.


Pelet merupakan salah satu bentuk biomassa, yang diproduksi pertama kali di Swedia pada tahun 1980-an. Pelet dapat digunakan sebagai pemanas ruang untuk ruang skala kecil dan menengah. pelet merupakan hasil pengempaan biomassa yang memiliki tekanan yang lebih besar jika dibandingkan dengan briket dengan massa 60 kg.m3, kadar abu 1% dan kadar air kurang dari 10%).

Biopelet diproduksi oleh suatu alat dengan mekanisme pemasukan bahan secara terus menerus serta mendorong bahan yang telah dikeringkan dan termampatkan melewati lingkaran baja dengan beberapa lubang yang memiliki ukuran tertentu. Proses pembuatan biopelet adalah  menggunakan  proses densifikasi. Proses densifikasi dilakukan pada bahan berbentuk curah atau memiliki sifat fisik yang tidak beraturan.

Terdapat tiga tipe proses densifikasi, antara lain: extruding, briquetting, dan pelleting. Sebelum ketiga proses ini, terlebih dahulu bahan baku yang digunakan diubah menjadi serbuk yang dihaluskan dengan melakukan penyaringan menggunakan ukuran tertentu. Selanjutnya, bahan baku yang halus tersebut dicampurkan dengan menggunakan perekatdan diaduk secara merata untuk dijadikan adonan. Selanjutnya, proses densifikasi akan berlangsung. Pada proses extruding, bahan dimampatkan menggunakan sebuah ulir (screw) atau piston yang melewati dies sehingga menghasilkan produk yang kompak dan padat.

Proses briquetting menghasilkan produk berbentuk seperti tabung dengan ukuran diameter dan  tinggi yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan.  Proses pelleting terjadi karena adanya aliran bahan dari roll yang berputar disertai dengan tekanan menuju lubang-lubang pencetak biopelet. Peletisasi merupakan proses pengeringan dan pembentukan biomassa dengan menggunakan tekanan tinggi untuk menghasilkan biomassa padat berbentuk silinder dengan diameter maksimum 25 mm. Biopelet serbuk gergajian yang dihasilkan mempunyai berbagai keunggulan dibandingkan biopelet yang dari biomassa lainnya misalnya  serbuk kayu sengon yang memenuhi standar mutu berdasarkan nilai kerapatan, kadar air, dan nilai kalornya (Winata A, 2013).


2.4 Kualitas Pelet Kayu

Kualitas pelet kayu pada umumnya ditentukan berdasarkan sifat fisik dan kimianya antara lain ditentukan oleh kadar air, kadar abu, kadar zat mudah menguap, kadar karbon terikat, kerpatan, keteguhan tekan, dan nilai kalor. Adapun beberapa standar yang digunakan pada pembuatan pelet kayu disajikan dalam tabel dibawah ini adalah.

Standarisasi Pelet Kayu


III. METODE PRAKTIKUM

3.1 Tempat dan Waktu

Praktikum dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya pada tanggal 12-26 November 2019.


3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah:

  1. Mesin Tanur, digunakan sebagai alat pengabuan dan zat mudah menguap.
  2. Oven, digunakan sebagai pengering sampel/contoh uji untuk pengukuran kadar air contoh uji.
  3. Cawan, digunakan sebagai wadah contoh uji.
  4. Timbangan Analitik, digunakan sebagai pengukur berat contoh uji.
  5. Penggaris, digunakan untuk mengukur panjang contoh uji.
  6. Jangka sorong, digunakan untuk mengukur diameter contoh uji.
  7. Desikator, digunakan sebagai penetral contoh uji.
  8. Kawat, digunakan sebagai pengikat cawan dengan tutup pada pengukuran zat mudah menguap.


Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah untuk kerapatan 5 buah pelet kayu dan untuk kadar air, kadar abu, dan zat mudah menguap membutuhkan masing-masing 2 g dalam 5 ulangan sehingga berat sampel yang dibutuhkan 30 g.


3.3 Prosedur Kerja

3.3.1 Kerapatan

Kerapatan dinyatakan sebagai hasil perbandingan berat contoh uji terhadap volume contoh uji. Setiap buah contoh uji pelet kayu diukur bobotnya dengan menggunakan timbangan analitik pada kondisi kering udara. Selanjutnya diukur dimensi tinggi dan diameter setiap buah contoh uji untuk mengetahui volumenya. Nilai bobot dan nilai volume kering udara contoh uji tersebut digunakan untuk menetapkan besarnya kerapatan setiap buah contoh uji pelet kayu menggunakan standar SNI 8021-2014 dengan persamaan:

K = B/V

Keterangan:
K = Kerapatan (g/cm kubik)
B = Berat setiap buah contoh uji (g)
V = Volume setiap buah contoh uji (cm kubik)


3.3.2 Kadar Air

Prosedur perhitungan kadar air pelet kayu dengan mengambil sebagian dari contoh uji arang dan menimbangnya dengan berat 2 g sebagai berat contoh uji (a). Contoh uji pelet kayu dikeringkan dalam oven pada suhu 101-105 derajat celsius sampai berat konstan. Selajutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai berat kering tanur (b). Prosedur perhitungan kadar air pada pelet kayu menggunakan SNI 01-1506 : 1989.

Kadar air (%) = ((a-b)/a) x 100%

Keterangan:
a = Berat contoh uji (gram)
b = Berat kering tanur (gram)


3.3.3 Kadar Abu

Prosedur penentuan kadar abu dilakukan dengan cara furnace contoh uji dengan berat 2 g sebagai berat awal (a), kemudian dimasukkan ke dalam cawan porselin atau cawan pengabuan (b). Cawan yang berisi arang dan pelet kayu tersebut ditanurkan pada suhu dengan bertahap mulai 200 derajat celsius, 400 derajat celsius, dan 600 derajat celsius. Setelah itu dibiarkan sampai contoh uji dingin, kemudian contoh uji dimasukkan dalam desikator dan ditimbang sebagai berat cawan + berat abu (c).  Perhitungan kadar abu pelet kayu menggunakan standar SNI 06-3730 : 1995 dengan rumus sebagai berikut:

Kadar Abu (%) = ((c-b)/a) x 100%

Keterangan:
a: berat contoh uji (gram)
b: berat cawan (gram)
c: berat cawan + berat abu (gram)


3.3.4 Kadar Zat Mudah Menguap

Prosedur perhitungan kadar zat mudah menguap dilakukan dengan menimbang 1-2 g contoh uji ke dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya kemudian ditutup menggunakan tutup cawan porselin. Cawan yang berisi contoh uji tersebut dipindahkan ke dalam oven tanur dan dipanaskan sampai suhu 950 derajat celsius. Setelah suhu tercapai, cawan dan contoh uji dibiarkan dingin terlebih dahulu dalam tanur, kemudian contoh uji dimasukkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar zat mudah menguap pelet kayu menggunakan standar SNI 06-3730 : 1995 dengan rumus berikut:

Bagian yang hilang pemanasan 950 derajat celsius = ((W1-W2)/W1) x 100%

Kadar ZMM (%) = kehilangan berat (%) - kadara air (%)

Keterangan:
ZMM: zat mudah menguap
W1: berat awal (g)
W2: berat setelah pemanasan (g)


3.3.5 Kadar Karbon Terikat

Prosedur perhitungan kadar karbon terikat menggunakan standar 06-3730 :1995. Kadar karbon terikat dihitung dari contoh uji dengan mengurangi abu dan kadar zat mudah menguap. Kadar karbon terikat dihitung dengan rumus.

Karbon terikat (%) = 100 - (A + B)

Keterangan:
A: Kadar zat mudah menguap
B: Kadar abu

Baca juga: Briket Arang dan Pelet Kayu


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kerapatan

Kerapatan merupakan hasil perbandingan antara berat dan volume pelet kayu. Tinggi rendahnya kerapatan pelet kayu sangat berpengaruh terhadap kualitas pelet kayu, terutama nilai kalor pelet kayu. Besar kecilnya kerapatan dipengaruhi oleh ukuran dan kehomongenan penyusun pelet kayu tersebut. Menurut Hartoyo (1978) dinyatakan bahwa tinggi rendahnya kerapatan dan keteguhan tekan pelet kayu dipengaruhi oleh berat jenis kayu dan besarnya tekanan pengempaan.

Gambar diatas menjelaskan bahwa nilai rata-rata dari ke-5 sampel adalah 13,66% dimana nilai kerapatan sampel yang tinggi berada pada A3 dengan nilai 1,20%, sedangkan nilai kerapatan sampel yang rendah berada pada A4 dengan nilai 1,05%. Hal ini terjadi karena panjang pelet kayu yang bervariasi mampu mempengaruhi volumenya sehingga menjadi faktor besar kecilnya suatu nilai kerapatan pelet kayu. Sedangkan menurut Akbar (2017) menyatakan bahwa semakin panas suhu kempa yang digunakan maka nilai kerapatan pelet kayu semakin meningkat. Kerapatan pelet kayu ini berkisaran antara 1,05-1,20% mempunyai kategori yang baik dilihat dari standarisasi SNI (≥0,8), Prancis (>1,15), dan Swedia (>0,60).


4.2 Kadar Air

Kadar air dalam pembuatan pelet kayu sangat berpengaruh terhadap kualiatas pelet kayu. Semakin tinggi kadar air akan menyebabkan kualitas pelet kayu menurun, terutama akan berpengaruh terhadap nilai kalor pelet kayu dan pelet kayu akan lebih sulit untuk dinyalakan (Utami, 2017). Adapun hasil pengukuran kadar air yang disajikan dalam gambar dibawah ini.

Kadar Air Pelet Kayu

Gambar diatas menjelaskan bahwa nilai rata-rata dari ke-5 sampel adalah 1,14% dimana nilai kadar air sampel yang tinggi berada pada A3 dengan nilai 1,30%, sedangkan nilai kadar air sampel yang rendah berada pada A1 dengan nilai 0,81%. Menurut Utami (2017) menyatakan bahwa interaksi antara ukuran serbuk dan suhu kempa tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar air. Pada ke-5 sampel tersebut mempunyai nilai kadar air yang beragam yang disebabkan oleh besar kecilnya ukuran suatu pelet kayu tersebut. Nilai kadar air pelet kayu ini berkisaran antara 0,81-1,30% berkategori baik dilihat dari standarisasi SNI (≤12), Prancis (≤15), dan Swedia (≤10).


4.3 Kadar Abu

Kadar abu merupakan bahan sisa dari pembakaran yang sudah tidak memiliki nilai kalor atau tidak memiliki unsur karbon lagi. Salah satu penyusun abu adalah silika. Pengaruh kadar abu terhadap kualitas pelet kayu kurang baik, terutama terhadap nilai kalor yang dihasilkan. Kandungan kadar abu yang tinggi dapat menurunkan nilai kalor pelet kayu, sehingga akan menurunkan kualitas pelet kayu (Utami, 2017). Adapun hasil pengukuran kadar abu yang diperoleh disajikan dalam bentuk gambar dibawah ini.

Kadar Abu Pelet Kayu

Gambar diatas menjelaskan bahwa nilai rata-rata dari ke-5 sampel adalah 0,90% dimana nilai kadar abu sampel yang tinggi berada pada A5 dengan nilai 1,50%, sedangkan nilai kadar abu sampel yang rendah berada pada A2 dan A3 dengan nilai masing-masing 0,50%. Menurut Utami (2017) menyatakan bahwa interaksi antara ukuran serbk dan suhu kempa tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar abu. Nilai kadar abu ini berkisaran antara 0,50-1,50% berkategori baik dilihat dari standarisasi SNI (≤1,5), Prancis (≤6,00), dan Swedia (<0,70).


4.4 Kadar Zat Mudah Menguap

Kadar zat mudah menguap merupakan zat yang dapat meenguap sebagai hasil dekomposisi senyawa-senyawa yang masih terdapat didalam arang selain air. Kandungan kadar zat mudah menguap yang tinggi didalam pelet kayu akan menyebabkan asap yang lebih banyak pada saat briket dinyalakan. Kandungan asap yang tinggi disebabkan oleh adanya reaksi anatar karbon monooksida (CO) dengan turunan alkohol (Hendra dan Pari, 2000). Adapun hasil pengukuran kadar zat mudah menguap yang disajikan dalam gambar dibawah ini.

Kadar Zat Mudah Menguap Pelet Kayu

Gambar diatas menjelaskan bahwa nilai rata-rata dari ke-5 sampel adalah 13,66% dimana nilai kadar zat mudah menguap sampel yang tinggi berada pada A3 dengan nilai 16,11%, sedangkan nilai kadar zat mudah menguap sampel yang rendah berada pada A4 dengan nilai 11,86%. Menurut Utami (2017) menyatakan bahwa ukuran serbuk tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar zat mudah menguap pada suhu kempa 180 derajat celsius dan 220 derajat celsius, namun pada suhu kempa 200 derajat celsius ukuran serbuk memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kadar zat mudah menguap, yaitu ukuran serbuk yang lebih halus memiliki nilai kadar zat mudah menguap lebih rendah. Nilai kadar zat mudah menguap ini berkisaran antara 11,86-16,11% berkategori baik dilihat dari standarisasi SNI (≤80).


4.5 Kadar Karbon Terikat

Kadar karbon terikat merupakan fraksi karbon yang terikat didalam arang selain fraksi air, zat menguap, dan abu. Keberadaan karbon terikat didalam pelet kayu dipengaruhi oleh nilai kadar air, kadar abu dan kadar zat mudah menguap. Kadar karbon terikat berpengaruh terhadap nilai kalor bakar pelet kayu. Nilai kalor pelet kayu akan tinggi apabila nilai karbon terikat pada pelet kayu tinggi (Utami, 2017). Adapun hasil pengukuran kadar karbon terikat yang disajikan dalam gambar dibawah ini.

Kadar Karbon Terikat Pelet Kayu

Gambar diatas menjelaskan bahwa nilai rata-rata dari ke-5 sampel adalah 85,44% dimana nilai kadar karbon terikat sampel yang tinggi berada pada A2 dengan nilai 87,58%, sedangkan nilai kadar karbon terikat sampel yang rendah berada pada A3 dengan nilai 83,39%. Hal ini dipengaruhi oleh nilai besar kecilnya kadar air, kadar abu, dan kadar zat mudah menguap. Nilai kadar karbon terikat ini berkisaran antara 83,39-87,58% berkategori baik dilihat dari standarisasi SNI (≥14).

Baca juga: 4 Papan Tiruan dari Kayu


V. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Kesimpulan pada laporan praktikum pelet kayu akasia daun lebar adalah.

  1. Pelet kayu akasia daun lebar mempunyai nilai kerapatan berkisar antara 1,05-1,20%, nilai kadar air berkisaran antara 0,81-1,30%, nilai kadar abu berkisaran antara 0,50-1,50%, nilai kadar zat mudah menguap berkisaran antara 11,86-16,11%, dan nilai kadar karbon terikat berkisaran antara 83,39-87,58%.
  2. Pelet kayu akasia daun lebar mempunyai kualitas baik berdasarkan standarisasi pelet kayu melalui kerapatan, kadar air, kadar abu, kadar zat mudah menguap, dan kadar karbon terikat.


5.2 Saran

Saran pada laporan praktikum pelet kayu akasia daun lebar adalah perlunya dilakukan pengujian keteguhan tekan dan nilai kalor dalam menentukan klasifikasi kualitas pelet kayu akasia daun lebar.


DAFTAR PUSTAKA

Akbar. 2017. Karakteristik Pelet Kaliandra Merah sebagai Energi Bahan Bakar Ramah Lingkungan. IPB. Bogor.

Badan Peneliti dan Pengembangan Kehutanan. 1994. Pedoman Teknis Pembuatan Pelet Kayu. Departemen Kehutanan. Bogor.

Hartoyo, J., dan Roliadi, H. 1978. Pembuatan Pelet Kayu dari Lima Jenis Kayu Indonesia. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor.

Hendra, D. dan Pari, G. 2000. Peyempurnaan Teknologi Pengolahan Arang. Badan Peneliti dan Pengembangan Kehutanan. Bogor.

Marsoem, S. R. 2014. Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman Acacia mangium. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Qian et al. 2011. Combustion and no Emission of High Nitrogen Content Biomass in a pilot-Scale Vortexing, Fluidiced Bed Combustor. Bioresoure Tecnology, 102 (2), 1892-1898.

Sofia, dkk. 2018. Karakteristik Biopelet Dari Limbah Padat Kayu Putih dan Gondorukem. IPB. Bogor.

Sudrajat, R. 1983. Pengaruh Bahan Baku, Jenis Perekat, dan Tekanan Kempa terhadap Kualitas Pelet Kayu. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor.

Utami, A. B. 2017. Kualitas Pelet Kayu Akasia Daun Lebar (Acacia mangium). IPB. Bogor.

Winata A. 2013. Karakteristik Biopelet dari Campuran Serbuk Kayu Sengon dengan Arang Sekam Padi sebagai Bahan Bakar Alternatif terbarukan. Skripsi. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Windarwari. 2011. Uji Kinerja Rotary Dryer berdasarkan Efisiensi Termal Pengeringan Serbuk Kayu untuk Pembuatan Biopelet. Jurnal Teknik Kimia No. 2, Vol. 21, April 2011.

Yilmaz, S., dan Selim, H. 2013. A Review on the Methode for Biomass to Energy Conversion Systems Design. Renewnable and Sustainable Energy Review, 25 (c), 420-430.


Silahkan download full laporan praktikum pelet kayu akasia daun lebar.

Download full-text PDF


Salam Lestari,
Lamboris Pane

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel